Krisis Populasi Ancam Masa Depan China Sebagai Raksasa Dunia

Foto yang diambil pada 25 Maret 2023 menunjukkan Paviliun Jixian (kiri) dan Paviliun Jixian (kanan) sebelum lampu dimatikan di tempat pemandangan Danau Barat di Hangzhou, provinsi Zhejiang, Tiongkok. (Future Publishing via Getty Images)

  • China tengah menghadapi krisis populasi karena lebih banyak wanita yang memilih untuk fokus pada karir dan tujuan pribadi mereka, daripada memulai sebuah keluarga.
  • Pemerintah China telah menghapus kebijakan satu anak pada tahun 2016, dan menghapus batasan melahirkan pada tahun 2021, tetapi pasangan menikah masih memiliki lebih sedikit anak.
  • Biro Statistik Nasional China melaporkan bahwa populasi turun menjadi 1,412 miliar tahun lalu dari 1,413 miliar pada 2021.

China menghadapi krisis populasi di sebagian besar wilayah mereka. Pasalnya, lebih banyak wanita yang memilih untuk fokus pada karir dan tujuan pribadi mereka, daripada memulai sebuah keluarga.

Semakin berkurangnya populasi ini bisa membuat masa depan China sebagai raksasa ekonomi dunia terancam. Tiongkok adalah negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat.

Sudah bergulat dengan populasi yang menua dan siap diambil alih oleh India sebagai negara terpadat di dunia, China terus berjuang untuk meningkatkan angka kelahirannya.

Pemerintah China telah menghapus kebijakan satu anak pada tahun 2016 dan menghapus batas kelahiran pada tahun 2021.

Namun, menurut asisten profesor di departemen sosiologi dan antropologi di Universitas Nasional Singapura, Mu Zheng mengungkapkan bahwa masyarakat di Chinayang sudah menikah memiliki lebih sedikit anak atau memilih untuk tidak memiliki anak sama sekali.

“Covid terus memiliki banyak dampak negatif dan telah menyebabkan rasa ketidakpastian secara keseluruhan terhadap masa depan, maka ada rasa tidak berdaya yang melarang banyak wanita ingin punya anak.” kata Mu yang dikutip dari CNBC International.

Selain itu, meningkatnya biaya hidup juga menjauhkan lebih banyak orang dari keinginan untuk memperluas keluarga mereka.

Biro Statistik Nasional China melaporkan bahwa populasi turun menjadi 1,412 miliar tahun lalu dari 1,413 miliar pada 2021. Tingkat pertumbuhan alami negatif untuk pertama kalinya sejak 1960.

Karier dan Kebebasan Tetap Menjadi Prioritas

China memiliki populasi ibu yang lebih besar dalam angkatan kerja dibandingkan dengan negara-negara di Barat, kata Andy Xie, seorang ekonom independen, kepada CNBC.

“Ada keinginan untuk berkarier di China dan menjadi ibu rumah tangga bukanlah tujuan. Itu bahkan tidak muncul di radar kebanyakan wanita, “kata Xie.

Karena lebih banyak wanita memperoleh kualifikasi yang lebih tinggi dan naik pangkat di tempat kerja, mereka berharap suami mereka berpenghasilan lebih dari mereka.

Pada tahun 2020, data Statista menunjukkan bahwa mahasiswa perempuan menyumbang hampir 42% dari pendaftaran gelar doktor, dan jumlah perempuan yang mendaftar untuk gelar master jauh lebih tinggi daripada laki-laki.

Xie juga mengungkapkan bahwa pria menghadapi beban yang luar biasa karena wanita akan menuntut keamanan finansial dari mereka,dan pada gilirannya juga tidak ingin menikah. Kalau dulu orang dikritik karena lajang, tetapi tidak ada stigma sosial terhadap itu lagi.

CNBC International mewawancarai Awen, seorang desainer lepas berusia 31 tahun dari Shenzhen yang hanya mau menyebutkan nama depannya, mengatakan bahwa dia senang melajang sekarang.

Semua wanita yang membagikan pengalaman pribadi mereka untuk cerita ini hanya merasa nyaman membagikan nama depan mereka.

“Menghemat uang dan fokus pada karir saya adalah prioritas saya sekarang, saya sudah merasa sangat lelah setelah bekerja, saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan orang tua dengan anak-anak.” Ungkapnya.

Dia mengatakan sebagian besar suami di China sering tidak memainkan peran penting dalam pengasuhan anak, dan sebagai gantinya beban sepenuhnya berada pada ibu.

“Banyak wanita tidak mau menikah karena pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak akan menjadi tanggung jawab mereka,” kata Awen.

“Jadi, jika perempuan merasa perlu melakukan pekerjaan rumah, mencari uang, dan melakukan semuanya sendiri, mengapa tidak sendirian saja?” tambahnya.

Membantu Wanita Mencapai Keseimbangan

Trip.com merupakan salah satu perusahaan China yang dengan bangga mencoba mendorong lebih banyak wanita untuk memiliki anak.

Dalam sebuah organisasi di mana lebih dari setengah dari 30.000 karyawannya adalah wanita, biro perjalanan online datang dengan solusinya sendiri untuk mendorong wanita di perusahaan memiliki lebih banyak anak.

“Kami hanya memberi wanita tujuh hingga delapan tahun untuk membangun karier, keluarga, dan memiliki anak,” CEO Jane Sun mengatakan kepada CNBC bulan lalu, menambahkan bahwa waktunya “sangat ketat.”

Banyak karyawan muda yang sudah berusia 28 tahun ketika mereka mendapatkan gelar PhD, dan kehamilan setelah usia 35 tahun memiliki risiko yang lebih tinggi, jelasnya.

Trip.com menawarkan subsidi mulai dari US$15.000 hingga US$300.000 untuk membantu karyawan yang berkewarganegaraan China mengimbangi biaya pembekuan telur yang harganya terbilang fantastis.

Selain itu, karyawan yang hamil ditawari tumpangan taksi gratis ke dan dari tempat kerja, dan menerima tunjangan tunai saat anak mereka lahir dan mulai sekolah.

Tapi ada peringatan. Wanita di China yang ingin membekukan sel telurnya harus menikah, menurut peraturan China. Namun, beberapa wanita di China menginginkan anak tetapi mungkin belum siap menikah, kata Mu asisten profesor dari NUH.

“Wanita sekarang lebih mandiri secara ekonomi … jadi pernikahan bukanlah pilihan yang menarik bagi banyak dari mereka,” katanya.

Menurut data CEIC, 7,64 juta pasangan menikah pada 2021, turun dari 8,14 juta pada 2020.

Provinsi Sichuan di barat daya China mengumumkan pada awal tahun bahwa penduduk yang belum menikah dapat memperoleh manfaat yang sama dari pasangan menikah, sebuah langkah yang diharapkan akan meningkatkan angka kelahiran negeri Tirai Bambu tersebut.

Masalah Perumahan dan Harga Properti

Salah seorang ekonom juga membeberkan bahwa ada penyebab harga properti yang tinggi di China terus menghambat banyak pasangan yang mungkin ingin berumah tangga.

Memiliki properti di China adalah “simbol yang sangat kuat”, dan orang sering kali ingin membeli rumah sebelum menikah.

Namun, biaya perumahan menjadi perhatian besar bagi siapa saja yang ingin menikah.

Oleh sebab itu, ekonom di negara tersebut kerap mengusulkan bahwa harga perlu turun setidaknya 50% untuk membuat pernikahan lebih diminati.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*